RAFTEL

07.47

Kenapa rasa itu tumbuh. Seakan membawa segenap jiwa kembali terbingkai imaji, bercerita tentang hal-hal yang selama ini diinginkan, tentang keangkuhan diri yang agung, tentang bujukan barang-barang mewah yang bersenandung. Atau tentang hasrat cinta yang memanggil para bidadari singgah meruntuhkan moralnya. Hidup ini memang tak adil, ketika sebagian orang bersusah payah mengejar impian untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik, ada penjelasan kontras antara kenyataan dan harapan. Unsur terkecil dari mereka mendapatkan apa yang dicari dari sisa-sisa kekayaan bumi, sedang yang lain berhimpun mengumpulkan dan memungut suara-suara lantang sembari terdengar samar. Jawaban dari apa yang terjadi hari ini ialah bumi begitu perkasa memperkosa daging-daging yang busuk dalam setiap bayang kegundahan. Aku ingin bercerita tentang bagaimana nasib seseorang yang terasing dari suara mayoritas. Hati kecilnya berkata, saya harus cepat mati. Sebelum melangkah lebih jauh memalingkan perasaan hati seseorang. Terdapat kebisingan dalam dirinya, kejenuhan, kesombongan, ketamakan, kemarahan, seperti itulah hari-hari yang dia lewati. Ada kekosongan yang sengaja dia biarkan mengendap. Apakah perlu sikapnya sama seperti kebanyakan orang pada umumnya, berjalan normal menjalani hidup yang itu-itu saja. Berfikir pragmatis menuntut hak nilai-nilai yang hilang, sebagian lagi bergembira karena nilai-nilai yang hilang keberadaannya ditemukan di tempat tinggi dibanding yang lain. Sebagian lain, ada yang mempertanyakan kebenaran adanya Tuhan. Haruskah dia seperti itu, terombang-ambing dalam kegilaan terhadap nilai dan adanya Tuhan. Tidakkah dia sadari dengan sengaja dirinya diperbudak jeratan nilai Ketuhanan. Bukan pemikiran kebebasan yang diajarkan para pendahulunya. Dia sudah terkepung dalam bidikan para calon Sarjana yang akan hidup normal, menikah, bekerja, membeli rumah dan mempunyai anak. Dan dia tak dapat menolaknya karena itu jalan yang akan dia lalui. Lalu, bagaimana ungkapan hatinya yang menjerit ingin segera dibebaskan. Apakah tak ada jalan pintas yang membawa pulang kembali ke fitrahnya. Terlalu buntu lajur itu, hanya ada dinding tinggi membelenggunya.

Jatinangor, 03-07-2014

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.